Frekuensi bagi radio adalah satu hal yang ga bisa dipisahkan. Maka menjadi penting bagi radio komunitas untuk mendapatkan alokasi frekuensi yang adil dan setara.
Beberapa masalah yang menimpa radio komunitas baru-baru ini banyak berkaitan dengan urusan frekuensi. Misalnya saja, interperensi terhadap frekeunsi penerbangan atau tertutupnya siaran radio komunitas oleh beberapa lembaga penyiaran radio yang mengaku komunitas. Di Jakarta misalnya Suara Metro milik kepolisian menposisikan frekuensi di alokasi frekuensi radio komunitas yang di atur di KM 15 tahun 2003. Sehingga para pengelola radio komunitas lain terganggu dan tertimpa frekuensinya oleh radio Suara Metro. Di Bandung radio Sonata milik pemda Bandung memposisikan juga frekeunsinya di alokasi yang menurut KM 15 khusus untuk radio komunitas. Akibatnya para pengelola radio komunitas di Bandung menjadi terganggu dan sulit siaran secara maksimal di komunitasnya.
Bila kita menilik persoalan-persoalan yang menimpa radio komunitas yang berurusan dengan frekeunesi , maka akan didapatkan beberapa point penting permasalahan yang di hadapi radio komunitas yakni :
- Alokasi frekuensi. Saat ini alokasi frekuensi masih mengikuti ketetapan dalam Kepmen Hub no 15 tahun 2003, dimana Radio komunitas yang masuk kategori kelas D hanya mendapatkan jatah frekuensi 3 kanal dengan lebar pita yang sangat sempit sekali.
- Perijinan. Meskipun telah ada “kesepakatan baru” antara KPI dan Depkominfo, namun proses perijinan yang dimulai dari bawah tetap saja banyak yang tidak di pahami, baik oleh KPI D, maupun oleh Dinasdinas terkait. Sebaiknya Depkominfo juga harus membangun kesepakatan dengan Dinas-dinas di daerah untuk tidak menetapkan aturan ganda pada penyiaran dan penggunaan frekuensi. Meskipun itu hak Pusat, tetapi dalam PP 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah salah satu pasal menyebutkan pengelolaan frekuensi ada di tangan Pemda dan PP ini belum dicabut . “Peseteruan” ini terjadi hampir di semua Propinsi. Nah ada baiknya ada Islah juga antara Depkominfo dengan Pemda,kalau tidak selesai persoalan ini maka yang dirugikan adalah lembaga-lembaga penyiaran yang ada, termasuk radio komunitas.
- Standarisasi Peralatan. Sampai sekarang belum ada peraturan yang menegaskan bagaimana standarisasi peralatan Radio Komunitas, alhasil masih mengikuti pola2 yang dilakukan untuk Radio Swasta. Jika memang ini wewenang Pemerintah, Depkominfo harus menyusun regulasi mengenai itu dengan mempertimbangkan peralatan yang saat ini dimiliki oleh radio komunitas (umumnya rakitan sederhana).
- Biaya Penggunaan Frekuensi. Belum ada ketentuan untuk radio komunitas. Kalau memang ada tuntutan radio komunitas mengurus perijinan, maka regulasi-regulasi yang terkait seharusnya sudah ditetapkan juga. Biaya penggunaan Frekuensi merupakan salah satu yang belum jelas dalam pengurusan ijin radio komunitas. Alhasil, beberapa daerah menetapkan berdasarkan “keinginannya sendiri”. Sudah menurut aturan salah, Pemda menetapkan berdasarkan keinginannya sendiri.
- Jangkauan siaran. Dalam PP disebutkan jarak jangkauan adalah 2,5 km. Kalau diambil saja satuan wilayah administrasi terkecil adalah desa/kelurahan, maka hampir semua kelurahan/desa di luar Jawa luasnya jauh dari ukuran itu. Ukuran ini sudah menjadi wacana di Pemerintah semenjak Kepmen no 15 tahun 2003 di keluarkan. dan sebenarnya juga sudah banyak diskusi dan argumentasi yang menjelaskan ukuran itu kurang tepat jika diberlakukan di seluruh Indonesia. Namun dalam PP 51 keluar juga hal yang sama.
Setelah mengetahui peta masalah di atas para pengelola radio komunitas dan organisasi Jaringan Radio Komunitas Wilayah meminta untuk alokasi frekuensi radio komunitas, penempatan kanalnya tidak di atas ( 107,7; 107,8; 107,9) spt yg sekarang di alokasikan oleh KM 15. Alasan teman-teman pengelola radio komunitas berkaitan degan kanal tersebut selalu dipakai alasan oleh pihak lain termasuk pemerintah daerah mengganggu frekuensi pesawat terbang. Kasusterbarunya adalah yang terjadi di rakom Citra Melati, Plered, Purwakarta, Jabar.
Secara organisasi pun kami meminta alokasi frekuensi untuk radio komkunitas ini degan cara pandang hak Lembaga penyairan komunitas (LPK) yang seharusnya posisinya setara dengan lembaga penyiaranlain yg juga di sebut dalam UU No. 32 tentang Penyiaran di mana ada 4lembaga penyiran yg diakui oleh UU tersebut. Dari cara pandang inilah teman-teman rakom dan juga organisasi rakom meminta alokasi 20% frekuensi untuk penyiaran komunitas. Adapun tentang biaya penggunaan frekuensi kami telah buat cara penghitunganya..
Untuk urusan yang berkaiatan dengan perizinan sebenarnya teman-teman rakom sudah membikin kriterianya walaupun sangat normatif dan ga bisa di ukur. Yakni perizinan ini harus memegang prinsip “mudah” dan”murah”.
Tulisan ini dipublikasikan kembali dari tulisan Iman Abda yang diterbitkan pertama kali di : https://rumahiman.wordpress.com/2008/02/14/radio-komunitas-dan-alokasi-frekuensi/